JOMBANG – Kinerja birokrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang dinilai gagal total dalam menerjemahkan visi dan misi pasangan Bupati-Wakil Bupati, Warsubi dan Salmanuddin Yazid (WarSa), yang tertuang dalam jargon Asta Cita.
Kegagalan ini, khususnya, terlihat jelas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Jombang Tahun Anggaran 2026.
Kritik tajam tersebut dilontarkan oleh Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Kabupaten Jombang melalui Sekretarisnya, Samsul Rizal, seusai agenda rutin Ngaji Anggaran dengan tema Telaah Kritis APBD Jombang 2026 di Padepokan Al-Adhim, Jombang, Jumat (21/11/2025) malam.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Samsul Rizal menyimpulkan bahwa tim penyusun anggaran Pemkab Jombang belum mampu menerjemahkan secara efektif Asta Cita WarSa, khususnya janji politik Mbangun Deso Noto Khuto (Membangun Desa, Menata Kota) yang seharusnya memprioritaskan pembangunan desa. Artinya, janji-janji politik WarSa hingga saat ini masih menjadi omon-omon dan pepesan kosong.
“Dalam R-APBD Jombang 2026, kami belum melihat program yang secara efektif dan terintegrasi memprioritaskan pembangunan desa atau yang langsung bersentuhan dengan desa,” ujar Rizal dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (23/11/2025).
Lebih lanjut, Pemkab Jombang dianggap melakukan blunder anggaran dengan mengesahkan program pengadaan sepeda motor (setara merek PCX atau NMAX) bagi kepala desa (Kades). Program ini dianggap tidak memiliki urgensi.
“Masyarakat mempertanyakan relevansi dan banyak yang menyatakan keberatan terhadap pengadaan motor ini. Apa relevansi dan efektivitasnya bagi peningkatan layanan pemerintahan desa untuk kemajuan dan kesejahteraan desa,” tegasnya.
Ia menambahkan, sarana dasar untuk pemajuan layanan pemerintahan desa kepada masyarakat bukanlah sepeda motor.
Selain program pembangunan desa, Rizal juga menyoroti program unggulan WarSa untuk menciptakan Satu Dusun, Satu Wirausaha yang justru tidak terakomodasi dalam R-APBD 2026. Ntah itu kesengajaan atau menggambarkan pemimpin yang lupa dengan janji politiknya.
“Ini sebenarnya program yang baik, tetapi skemanya seperti apa? Belum jelas. Seandainya program ini berjalan, bukan tidak mungkin apa yang dicanangkan Bupati mengenai Desa Mantra akan terwujud,” ungkap mantan aktivis mahasiswa Nahdliyin tersebut.
Menanggapi hasil telaah kritis tersebut, akademisi Doktoral Universitas Negeri Malang, Hafiz Muaddab, yang turut hadir dalam kegiatan itu, menggarisbawahi perlunya fondasi fiskal yang seimbang bagi tercapainya program Desa Mantra.
“Desa Mantra membutuhkan fondasi fiskal yang seimbang, keberlanjutan anggaran, keberanian investasi, dan pemerataan manfaat,” ujar dia.
Menurutnya, tanpa keseimbangan tiga elemen ini, pembangunan hanya akan bergerak pada level administratif semata, dan bukan transformasi struktural.
Muaddab mendesak Pemkab Jombang untuk segera menempuh strategi pemulihan belanja modal secara bertahap melalui incremental budgeting. Prioritas anggaran harus difokuskan pada sektor yang memiliki dampak langsung terhadap produktivitas desa, seperti irigasi, jalan produksi, fasilitas ekonomi desa, serta infrastruktur pendidikan dan kesehatan dasar.
“Pendekatan performance-based budgeting harus diperkuat, sehingga setiap rupiah transfer ke desa memiliki indikator output dan outcome yang jelas, dan tidak berhenti sebagai alokasi normatif,” pungkasnya.
“Pada akhirnya, keberhasilan pembangunan bukan sekadar tentang besar kecilnya anggaran, tetapi bagaimana anggaran itu diarahkan, dikawal, dan dipertanggungjawabkan,” tutupnya.















